Zakat Fithrah

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Zakat Fithrah
Zakat menurut bahasa artinya adalah an-namâ’ (berkembang) atau at tath-hîr (pensucian). Adapun menurut pengertian syara’, zakat adalah haqqun muqaddarun yajibu fi amwalin mu’ayyanah (hak yang telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu).175
Dengan perkataan “haqqun muqaddarun” (hak yang telah ditentukan besarnya), berarti zakat tidak mencakup hak-hak —berupa pemberian harta— yang besarnya tidak ditentukan, misalnya hibah, hadiah, wasiat, dan wakaf. Dengan perkataan yajibu (yang wajib [dikeluarkan]), berarti zakat tidak mencakup hak yang sifatnya sunnah atau tathawwu’, seperti shadaqah tathawwu’ (sedekah sunnah). Sedangkan ungkapan fi amwâlin mu’ayyanah (pada harta-harta tertentu) berarti zakat tidak mencakup segala macam harta secara umum, melainkan hanya harta-harta tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan nash-nash syara’ yang khusus, seperti emas, perak, onta, domba, dan sebagainya.
Terdapat hadits-hadits shahih mengenai zakat fithrah yang hukumnya wajib. Dari Ibn Umar ra:
“Rasulullah Saw mewajibkan zakat fithri (pada bulan Ramadhan kepada manusia).”176
Dan berdasarkan hadits Ibn ‘Abbas ra:
“Rasulullah Saw mewajibkan zakat fithri.”177
Sebagian Ahlul Ilmi menyatakan bahwa zakat fithri telah dihapus (mansukh) oleh hadits Qais bin Sa’ad bin Ubadah, ia berkata:
“Rasulullah Saw memerintahkan kami dengan shadaqah fithri sebelum diturunkannya (kewajiban) zakat dan tatkala diturunkannya (kewajiban) zakat beliau tidak memerintahkan kami dan tidak pula melarang kami, tetapi kami mengerjakan (mengeluarkan zakat fithri).”
Berikut ini adalah beberapa pandangan para fuqaha yang mu’tabar dalam masalah ini:
Pertama, Imam Abu Hanifah membolehkan mengeluarkan zakat fithri dari benda-benda yang telah disebutkan di dalam berbagai hadits. Contohnya adalah hadits dari Abi Sa’id al-Khudri yang berkata:
“Kami telah mengeluarkan zakat fithri pada saat Rasulullah (masih) berada di tengah-tengah kami satu sha’ dari makanan, atau satu sha’ dari kurma, atau satu sha’ dari gandum, atau satu sha’ dari kismis, atau satu sha’ aqith. Aku tetap melakukan hal itu (dengan mengeluarkan benda-benda tersebut) sebagaimana aku telah mengeluarkannya selama ini.”178
Walhasil, boleh mengeluarkan zakat fithrah dengan benda-benda tersebut diatas. Boleh juga mengeluarkan zakat fithri dengan benda-benda lain selain benda-benda tersebut diatas. Misalnya beras dan biji adas. Banyaknya beras diukur setara dengan takaran satu sha’ kurma, kemudian dikeluarkan dalam bentuk beras. Atau juga dalam bentuk uang (nuqud) yang nilainya setara dengan nilai (harga) satu sha’ kurma, kemudian dikeluarkan dalam bentuk uang. Pendapat mereka ini terdapat di dalam kitab Tuhfatu al-Fuqaha.
Kedua, madzhab Imam Malik membolehkan apa yang jadi bahan makanan penduduk negeri sebagaimana yang disebutkan (dalam hadits) tadi atau yang biasa dimakan oleh masyarakat. Contohnya beras dan biji adas, kacang-kacangan dan lain-lain. Pendapatnya ini terdapat di dalam kitab Balighatu as-Salik.
Ketiga, madzhab Imam Syafi’i membolehkan untuk mengeluarkan zakat fithri dari jenis apa yang bisa dizakatkan, yaitu dari hasil pertanian, buah-buahan. Dan yang paling utama adalah apa yang biasa menjadi makanan penduduk negerinya atau apa yang biasa menjadi makanannya. Pendapat ini terdapat di dalam kitab Mughni al-Muhtaj. Dengan ukuran (takaran) yang telah dijelaskan di dalam berbagai hadits.
Keempat, madzhab Imam Hambali membolehkan mengeluarkan zakat fithri hanya dari benda-benda yang telah disebutkan (di dalam hadits). Beliau tidak membolehkan selain dari benda-benda tersebut. Namun demikian, jika tidak dijumpai salah satu jenis dari beberapa jenis benda-benda tersebut, maka dibolehkan mengeluarkan zakat fithrah dengan sejenis bahan makanan yang layak, berupa biji-bijian jagung/shorgum, beras… Pendapat ini terdapat di dalam kitab al-Mughni.
Sha’ adalah takaran, yaitu ukuran volume tertentu. Berat isi timbangannya berbeda-beda tergantung biji apa yang memenuhi volumenya. Satu sha’ gandum setara dengan 2.25 kg gandum, atau lebih detail lagi setara dengan 2.176 gram gandum.
Di kalangan para mujtahid yang disebutkan di atas, seluruhnya tidak membolehkan zakat fithri dikeluarkan dalam bentuk nilai tertentu dari mata uang, kecuali pendapat Imam Abu Hanifah.
Waktu Mengeluarkan Zakat Fithrah
Zakat fithrah harus dikeluarkan sebelum sholat Ied. Boleh juga zakat fithri dikeluarkan satu atau dua hari sebelum Ied, dan disalurkan kepada fakir miskin. Zakat fithri dapat di serahkan secara langsung, demi menenteramkan diri kita, kepada orang-orang yang berhak (yaitu fakir miskin), juga boleh mewakilkannya kepada seseorang —yang anda percayai— untuk menyerahkannya kepada orang-orang yang berhak.
Kriteria Miskin yang Berhak Mendapatkan Zakat
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan kriteria miskin. Sebagian ulama menyatakan bahwa miskin itu lebih berat dibandingkan dengan faqir, ini adalah pendapat dari ulama Baghdad, dan Imam Malik. Ada juga yang menyatakan faqir itu lebih berat dibandingkan miskin. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi’i dalam sebuah qaulnya. Namun ada sebagian ulama yang menyamakan istilah ini. Ini adalah pendapat Ibn al-Qasim.179 Namun pendapat yang lebih tepat adalah, faqir itu lebih berat daripada miskin. Sebab Allah SWT telah menyatakan faqir lebih dahulu dibandingkan miskin. Berarti faqir itu lebih berat dibandingkan miskin.180 Oleh karena itu faqir didefinisikan orang yang tidak memiliki apa-apa (untuk memenuhi kebutuhannya), atau memilikii sesuatu akan tetapi tidak sampai 1/2 dari nishab. Sedangkan miskin adalah orang yang memiliki harta 1/2 nishab atau lebih akan tetapi tidak sampai sempurna senishab. Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa yang disebut kaya adalah orang memiliki harta sebanyak senishab. Ini di dasarkan pada sabda Rasulullah Saw kepada Mu’adz ra, “Maka kabarkanlah kepada mereka bahwa allah telah mewajibkan zakat atas mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka.”
Mahasiswa ataupun pelajar yang mendapatkan bantuan berupa harta (uang) dari orang tuanya, akan tetapi, selama harta itu belum mencukupi kebutuhannya, atau belum sampai senishab maka dirinya termasuk orang yang miskin (lihat batasan di atasnya). Ukuran untuk menetapkan layak atau tidaknya seseorang menerima zakat, atau miskin, bukan diukur dengan “ia didonasi atau tidak oleh orang tuanya.”
Orang tua wajib menafkahi anak perempuannya sampai anak perempuannya menikah dengan laki-laki yang lain. Sebab, kewajiban untuk memberi nafkah adalah tanggungjawab pihak laki-laki (bapak, atau kerabat laki-laki yang dekat). Alasan lain adalah, hukum bekerja hanya wajib bagi laki-laki yang memiliki kemampuan. Sedangkan bekerja bagi perempuan hukumnya mubah.181 Walhasil, anak perempuan nafkahnya ditanggung oleh orang tua laki-laki. Jika orang tua tidak mampu, maka kerabatnya yang akan menanggung. Jika kerabatnya tidak mampu maka negara. Jika negara tidak mampu maka seluruh kaum muslim wajib untuk membantu nafkahnya. Ini dengan catatan jika wanita itu belum menikah. Jika ia sudah menikah maka kewajiban memberi nafkah jatuh kepada pihak suami.
Nafkah kepada laki-laki hanya diberikan orang tua, hingga dirinya akil baligh. Jika ia sudah mencapai akil baligh maka orang tua tidak berkewajiban memberikan nafkah kepada anak laki-lakinya. Kecuali dalam kondisi anak laki-laki itu tidak mampu bekerja, karena cacat, atau dirinya sudah bekerja akan tetapi penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya.
Gharim (orang berhutang yang tidak mampu bayar) ada dua model: Pertama, Gharim karena mendamaikan dua orang yang bersengketa dengan hartanya.Ini diakibatnya karena, segitu sibuknya ia mengurusi dua orang yang bersengketa itu, sampai akhirnya ia berhutang. Namun, ia tidak mampu membayar hutangnya. Gharim semacam ini lebih berhak untuk mendapat zakat. Kedua, gharim karena dirinya sendiri. Ia berhutang untuk kepentingan dirinya sendiri, bukan untuk kepentingan orang lain. Ia akan diberi zakat sebatas utangnya.182
Menurut fuqaha’, Ibn Sabil adalah orang yang bepergian jauh dalam urusan ketaatan (bukan dalam urusan maksiyat), kemudian ia kehabisan bekal dan tidak memperoleh nafkah hidup.183
Ada juga sebagian besar fuqaha’ yang berpendapat bahwa orang yang sedang menuntut ilmu kemudian ia kehabisan bekal, maka orang semacam ini berhak mendapatkan zakat. Sebab, menurut mereka menuntut ilmu termasuk aktivitas di jalan allah (fî sabilillah). Dan ini telah ditetapkan dalam surat at-Taubah [9]: 60.184

See also  Najis
Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Never miss any important news. Subscribe to our newsletter.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *