Akidah Islam dan bekal pemahaman hukum-hukum syarak akan menjadikan hubungan dua keluarga besar ini terjalin baik, menjadi relasi harmonis dan saling mendukung satu sama lain.
Penulis: Najmah Saiidah
Pernikahan bukan sekadar mempertemukan sepasang insan dalam perjanjian kuat (mitsaqan ghalizhan). Lebih dari itu, menikah berarti menyatukan dua keluarga besar dengan latar belakang berbeda, bahkan tak jarang saling berseberangan.
Akidah Islam dan bekal pemahaman hukum-hukum syarak akan menjadikan hubungan dua keluarga besar ini terjalin baik, menjadi relasi harmonis dan saling mendukung satu sama lain. Dengan pernikahan, terjalin silaturahmi yang luas antarkeluarga kedua mempelai.
Pengaruh hubungan ini sampai ke akhirat kelak ketika Allah meminta pertanggungjawaban hamba-Nya. Firman Allah Swt. “Dan, bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS An-Nisa: 1).
Lalu, seperti apa Islam mengatur hubungan silaturahmi dan bagaimana pula syariat Islam mengatur hubungan menantu dan mertua?
1. Islam memosisikan mertua sebagaimana orang tua kandung.
Ketika seseorang menikah, ia akan memiliki orang tua baru, yaitu mertua. Mertua adalah orang paling dekat dengan kita selain keluarga inti. Mereka telah mengasuh dan merawat pasangan kita dari kecil hingga dewasa.
Mertua adalah orang tua kita juga. Berkat rida dan doa restunya jualah, pernikahan kita bisa terlaksana dengan penuh keberkahan. Posisi mereka layaknya orang tua kandung. Bedanya, mereka tidak mewarisi atau diwarisi, serta tidak ada ikatan perwalian antara menantu dan mertua.
Sebagai pasangan, kita memiliki kewajiban untuk memelihara hubungan silaturahmi antara mertua dengan anaknya. Sedangkan sebagai menantu, kita pun berkewajiban memuliakan mertua sebagaimana anaknya yang wajib memuliakan kedua orang tuanya.
Allah Swt. berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, tetangga yang dekat dan yang jauh, dan teman sejawat, ibnusabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS An-Nisa: 36).
Ayat ini memberi kita pemahaman bahwa wajib untuk menghormati mertua, menyayangi mereka, menjaga kehormatan dan hartanya, serta menaati perintahnya selama tidak bertentangan dengan syariat Allah dan Rasul-Nya layaknya orang tua sendiri.
Ketika siap menikah, berarti siap menerima pasangan dan keluarganya. Rida dan murka kedua orang tua masing-masing berpengaruh pada keadaan suami istri dalam rumah tangga. Oleh karena itu, pasangan yang baik adalah yang menganjurkan pasangannya senantiasa berbuat baik pada ibu-bapaknya.
2. Mertua dan menantu menjadi mahram karena pernikahan.
Secara bahasa, mahram berasal dari kata “harama”. Dalam kamus Al-Munawwir, kata مَحْرَمٌ berasal dari kata حَرَمَ – يَحْرُمُ – حَرَمًا وَمَحْرَامًا yang berarti ‘mencegah’, sedangkan kata مَحْرَمٌ sendiri berarti ‘yang haram’ atau ‘terlarang’.
Sedangkan secara istilah, “mahram” bermakna ‘semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan, dan pernikahan’. (Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni).
Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Bari dan Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan yang dimaksud mahram adalah ‘setiap laki-laki yang haram menikahinya, selamanya, disebabkan oleh faktor yang mubah, lantaran kemuliaannya’.
Syekh Atha’ bin Abu Rusytah mengemukakan bahwa mahram adalah laki-laki yang termasuk kelompok muhaarim perempuan (orang yang haram dinikahi perempuan).
Tentang siapa saja mahram, Allah telah menjelaskannya di beberapa ayat Al-Qur’an, di antaranya: “…Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka ….” (QS An-Nur: 31).
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Berkata Imam Qurthubi dalam tafsirnya, “Makna bu’uulatihinna adalah suami dan tuan bagi budak perempuan. Dari ayat-ayat ini kita memahami bahwa yang termasuk mahram karena pernikahan adalah suami, bapak mertua yang mencakup bapak suami atau bapak dari ayah dan ibu suami, juga bapak-bapak mereka ke atas, anak tiri (anak suami dari istri lain) dan seterusnya, yaitu cucu tiri baik cucu dari anak tiri laki-laki maupun perempuan, bapak tiri, dan menantu laki-laki (suami putri kandung).”
Dari penjelasan sebelumnya, kita memahami bahwa mertua dan menantu bermahram karena sebab pernikahan. Karenanya, hukum-hukum berkaitan dengan mahram berlaku atasnya, termasuk terkait pernikahan dengan mahram. Oleh karenanya, haram hukumnya pernikahan menantu dengan mertua, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang hal ini.
Dalilnya jelas dalam QS An-Nisa: 22, ” … dan diharamkan atas kalian menikahi) ibu-ibu istri kalian (mertua) …” Berdasarkan ayat tersebut, Ibnu Katsir menyatakan, Ibunya istri (ibu mertua) menjadi mahram cukup dengan berlangsungnya akad nikah atas putrinya. Baik telah berhubungan badan ataupun belum.
Keharaman tersebut mutlak adanya, permanen sifatnya. Kendati anak laki-lakinya tersebut menceraikan istrinya (menantu) baik suami sudah menggauli istri atau belum, atau suaminya sudah meninggal dunia misalnya, maka mertua tetap haram menikahi menantunya. Tidak ada istilah mantan menantu atau mantan mertua, karena selamanya tetaplah menantu dan mertua dalam penetapan hukum-hukum ini.
4. Menantu tidak berkewajiban menafkahi mertuanya.
Laki-laki yang telah menikah wajib menafkahi istrinya. Adapun mertua tidak termasuk tanggungan wajib menantunya. Dengan demikian, Islam tidak membenarkan seorang istri mengambil harta suami lalu memberikannya pada orang tua, kecuali dengan izin serta keridaan suami. Lantas, siapakah yang wajib menafkahi mertua?
Secara umum, menafkahi kedua orang tua adalah kewajiban anak-anaknya. Hal itu merupakan bentuk bakti kepada keduanya. Ibnul Mundzir berkata, “Telah sepakat ahli ilmu bahwa nafkah kedua orang tua yang fakir yang tidak memiliki penghasilan dan tidak memiliki harta adalah sebuah kewajiban pada harta seorang anak.” (Al-Mughni: 8/212)
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah ra., Nabi saw. bersabda, “Sungguh sebaik-baik makanan yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya dan sesungguhnya anak dia adalah bagian dari hasil usahanya.” (HR Abu Dawud). Para ulama berpendapat hadis ini menerangkan bahwa orang tua memiliki hak atas harta anaknya dengan syarat-syarat yang telah ditentukan syarak.
Pada dasarnya, menantu laki-laki tidak wajib menafkahi mertuanya. Hanya saja merupakan hal baik dan mendatangkan pahala serta keberkahan jika menantu laki-laki mengizinkan istri menggunakan kelebihan harta darinya untuk kedua orang tuanya. Terlebih jika mertuanya dalam keadaan terkendala mencari nafkah.
Khatimah
Demikianlah, pernikahan merupakan penyatuan dua keluarga yang memiliki latar belakang berbeda. Karenanya, butuh upaya keras agar kehidupan keluarga kita dan pasangan berlangsung harmonis. Semua akan terwujud dengan baik jika seluruh pihak menjadikan syariat Islam sebagai pijakan dalam menjalaninya, terlebih pihak yang paling dekat hubungannya, yaitu menantu dan mertua.
Semoga dengan memahami aturan Islam mengenai hal ini, akan terjalin hubungan baik, harmonis, dan penuh keberkahan di antara dua keluarga besar. Wallahu a’lam bishshawwab.